Kamis, 08 Oktober 2009

MANAJEMEN KEHORMATAN DPR

Oleh: Gun Gun Heryanto
(Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute)

Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, Kamis 8 Oktober 2009

Prosesi penahbisan anggota DPR 2009-2014 sudah berlalu. Dari komposisinya, background, patron politik, dan lain-lain masih bercita rasa sama seperti DPR sebelumnya. Sebagai fakta politik, para anggota DPR baru itu terpilih dalam pesta demokrasi, patut kita hargai. Bagaimanapun, secara normatif, eksistensi lembaga ini penting dan kita butuhkan dalam memperkuat demokratisasi di negeri ini meski secara prosedural, fungsionalisasi lembaga ini kerap ambigu, terutama saat mereka harus benar-benar melayani rakyat yang diwakilinya. DPR sebagai lembaga politik, dalam praktiknya tidak lepas dari anasir kepentingan politik, baik individual maupun partai politik. Dengan demikian, model komunikasi transaksional yang menegosiasikan ide, gagasan, pemikiran, bahkan suara dan kehormatan dirinya menjadi bagian yang mapan terpola dalam aktivitas sehari-hari di gedung parlemen. Formula politik sebagai “seni kemungkinan” mengarahkan setiap individu untuk lihai kapan harus melakukan akomodasi, dominasi, hingga berbagai strategi kolaborasi.DPR periode 2004-2009 masih meninggalkan jejak rekam citra buram. Pertama, citra lembaga DPR masih lekat dengan persepsi masyarakat sebagai lembaga korup. Catatan dari berbagai laporan menunjukkan kurang lebih ada sembilan kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. Kedua, dalam melaksanakan fungsi pengawasan, DPR periode lalu tampak kedodoran. Hanya ada dua hak angket yang tuntas, yaitu hak angket kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan kasus penjualan tanker Pertamina. Padahal tak kurang dari delapan hak angket yang diajukan. Kondisi yang sama terjadi dalam hak interpelasi. Dari sembilan hak interpelasi yang dibuat, hanya empat yang tuntas. Yakni, persetujuan atas resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1747, kasus Lapindo, busung lapar, dan kasus harga bahan pokok. Ketiga, dalam konteks fungsi legislasi pun cukup menyedihkan. Sejumlah UU produk DPR menyebabkan ketidakpuasan di masyarakat. Ada lima belas UU yang diujimaterikan di Mahkamah Konstitusi. Memang tak dinafikan, secara kuantitatif terdapat sekitar 183 RUU dari 284 RUU Rencana Program Legislasi Nasional 2005-2009 yang sudah disahkan. Namun coba kita amati lagi secara mendalam, hampir separo dari RUU yang berhasil disahkan itu terkait dengan ratifikasi perjanjian internasional, pengesahan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, soal anggaran pendapatan dan belanja negara, dan pengaturan soal pembentukan daerah otonom baru. Secara substansi belum menunjukkan kecemerlangan DPR karena sebagian besar RUU tadi masih berkutat pada hal-hal rutin dan formalistik. Dalam konteks legislasi ini, citra DPR pun masih diperparah dengan pembahasan RUU yang mengancam demokratisasi seperti RUU Rahasia Negara. Indikasinya, jika tidak terdapat penentangan yang luar biasa dari para tokoh nasional dan kalangan media massa, bukan mustahil “monster” atas nama rahasia negara itu disahkan di injury time masa bakti DPR.

Politik Dasamuka?
Kita tentu berharap DPR baru punya komitmen untuk menjaga kehormatan diri dan lembaganya.Wajah anggota DPR sebagai wakil rakyat yang melekat pada diri dan fungsinya harus benar-benar dihayati dan dikendalikan seoptimal mungkin. Bukan sebaliknya, para anggota DPR mempertontonkan praktik politik Dasamuka.Dalam dunia pewayangan, Dasamuka merupakan tokoh yang populer dengan nama Rakhwana. Dia adalah raja Alengka yang digambarkan sebagai sosok raksasa bermuka sepuluh lengkap dengan 20 tangan yang dimilikinya. Penggambaran itu menunjukkan kesombongan dan kemauan yang tak terbatas karena selalu ingin diposisikan sebagai kesatria besar. Nama “Rahwana” sendiri memiliki arti “(ia) yang raungannya dahsyat”. Watak politik Dasamuka bercirikan dominatif dan berupaya menempatkan kekuasaan secara penuh dalam kendalinya. Dalam cerita wayang, digambarkan bagaimana Rahwana berambisi menancapkan kekuasaannya di tiga dunia dengan melakukan penyerangan untuk menaklukkan ras manusia, makhluk jahat (asura-rakshasa-dety-danawa), dan makhluk surgawi. Ciri lain politik Dasamuka adalah kerap tak mengindahkan nilai-nilai etika dan moralitas dalam pencapaian keinginannya. Perilaku politiknya dikendalikan oleh kesombongan dan kemauan yang tak terbatas tadi. Penulis tidak mengharapkan perilaku anggota DPR baru seperti watak Dasamuka. DPR merupakan lembaga yang lahir dari rahim demokrasi. Sehingga sangat tidak tepat jika para anggota DPR mendominasi atau bahkan menyubordinasikan rakyat yang diwakilinya hanya karena sindrom kekuasaan. Salah satu bukti, mereka tidak berwatak dominatif, harus senantiasa terbuka untuk mau mendengar berbagai tuntutan dan dukungan yang berkembang di masyarakat. DPR bukan lembaga di bawah kekuasaan eksekutif, juga bukan di bawah partai politik, melainkan sebuah dewan terhormat yang semestinya bisa melahirkan berbagai kebijakan umum yang terhormat pula dengan perilaku yang seyogianya dibalut oleh nilai-nilai etis dan moralitas.

DPR ke Depan
Ke depan, anggota DPR, meminjam pendapat John Van Mannen dan Stephen Barley (1985:31-54), ada baiknya mengatur manajemen kehormatan organisasi minimal di empat domain. Domain pertama, ecological context yang merupakan dunia fisik termasuk di dalamnya lokasi, waktu dan sejarah, serta konteks sosial. Lingkungan fisik DPR di Senayan sudah cukup representatif, periodisasi waktu menjabat pun sudah diatur jelas, hanya saja DPR periode lalu tak mampu menghadirkan output kinerja yang menyejarah dalam konteks sosial bangsa Indonesia kekinian. Hal yang saatnya diubah segera oleh para anggota DPR baru dengan menunjukkan komitmen dan kehormatan sebagai wakil rakyat. Dengan demikian, DPR benar-benar menjadi simbol rumah rakyat. Domain kedua menyangkut jaringan atau interaksi deferensial. Dalam konteks ini, DPR harus mau dan mampu memetakan interaksinya dengan pihak lain. Yang menarik adalah jika DPR periode ini mampu menghadirkan kekuatan check and balance melalui kekuatan efektif oposisi di parlemen. Harapannya, partai besar yang kalah dalam Pemilu 2009, yakni Golkar dan PDIP, menjadi motor oposisi. Hanya saja melihat perkembangannya, kedua partai tersebut justru kian merapat ke lingkar kekuasaan dan bimbang menjadi kekuatan penyeimbang. Dua domain terakhir adalah pemahaman kolektif dan tindakan individual. Anggota DPR baru, baik pribadi maupun kolektif, harus konsisten memerankan sosok wakil rakyat, bukan sebaliknya memperkokoh citra politik Dasamuka.***

Tulisan ini bisa diakses di web Koran Jakarta berikut ini:
http://www.koran-jakarta.com/vertigo/web/berita-detail.php?idkat=18&id=24992

Sabtu, 03 Oktober 2009

PLUS-MINUS TOMMY DAN GOLKAR


Oleh: Iding R Hasan

(Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute)


Tulisan ini pernah dimuat di Koran Jakarta, 24 Agustus 2009


Rencana keikutsertaan Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), Sang Pangeran Cendana, dalam kontestasi perebutan Ketua Umum Partai Golkar (PG) pada Musyawarah Nasional (Munas) 4-7 Oktober 2009 mendatang telah menggoncangkan jagad perpolitikan tanah air. Hampir semua kalangan terkaget-kaget atas rencana yang terkesan dadakan tersebut. Mengapa Tommy tiba-tiba tergiur untuk kembali berpolitik setelah sekian lama “menyepi” dari dunia politik? Apakah ia mempunyai misi untuk mengembalikan trah Cendana ke dalam partai yang dibesarkan ayahnya tersebut? Ataukah ada kalangan internal Golkar sendiri yang mencoba “menarik” Tommy untuk ikut membenahi partai yang tengah terpuruk tersebut pasca kekalahannya pada pileg dan pilpres kemarin?
Skenario
Sejumlah pihak mencoba menganalisis kembalinya Tommy ke dalam ranah politik. Setidaknya ada dua skenario yang bisa dibaca dalam konteks ini. Sekenario pertama melihat bahwa rencana Tommy tersebut berangkat dari keinginannya sendiri untuk kembali membenahi Golkar. Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang terdekatnya, Tommy sangat prihatin dan tidak rela melihat Golkar yang telah dibesarkan ayahnya itu kini mengalami ketepurukan yang cukup parah. Oleh karena itu, ia merasa terpanggil untuk membawa Golkar kembali ke masa jayanya.Selain itu, Tommy disinyalir banyak pihak sebenarnya tidak rela kalau Golkar dipimpin oleh Aburizal Bakrie (Ical), terutama karena Ical berkolusi dengan Akbar Tanjung dan Agung Laksono yang dikenal dengan Triple A. Sebagaimana diketahui Akbar Tanjung termasuk di antara sejumlah menteri yang dicap keluarga Cendana sebagai brutus (Marcus Junius Brutus, seorang tokoh di zaman Romawi Kuno pada 85-42 SM yang telah berkhianat kepada pemimpinnya, Julius Caesar) karena dianggap menusuknya dari belakang dengan melakukan pengunduran diri ketika Soeharto baru saja mengumumkan dirinya tetap bertahan dari tuntutan massa untuk mengundurkan diri dari jabatan presiden. Dengan modal finansial yang boleh jadi setara dengan Ical, Tommy diyakini bisa menjadi pesaing paling berat.Di luar itu, Tommy sendiri tentu memiliki perhitungan matang untuk terjun kembali ke politik. Setelah sukses di bisnis, ia tentu memerlukan satu kaki lagi yang dapat menyokong bisnisnya, dan itu terdapat dalam politik. Bisnis dan politik bagaimanapun merupakan dua sisi dari mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia kecenderungan menguatnya hubungan bisnis dan politik bukanlah hal yang aneh.Adapun skenario kedua melihat bahwa sebenarnya Tommy justeru “ditarik” masuk oleh elite Golkar sendiri. Dalam konteks ini, Tommy boleh jadi akan dimanfaatkan oleh kandidat tertentu untuk menyaingi Ical sebagai kandidat terkuat hingga saat ini. Tommy yang merupakan kader Golkar yang sangat “bergizi” tentu mempunyai potensi besar. Persoalan yang dapat menghadang Tommy, seperti belum pernah menjadi pengurus DPP PG selama satu periode tidaklah dirisaukan benar, sebab dengan model politik transaksional yang demikian kuat di tubuh pohon beringin tersebut, apapun bisa diselesaikan melalui transaksi.
Plus-Minus
Terlepas dari dua skenario di atas, bagaimana sebenarnya peluang Tommy untuk menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Menurut hemat penulis, Tommy sebenarnya mempunyai banyak keunggulan dari kandidat-kandidat lainnya, yakni Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Ferry Mursyidan Baldan dan Yuddy Chrisnandi. Sayangnya keunggulan-keunggulan Tommy tersebut pada saat yang sama justeru bisa sekaligus menjadi kelemahannya.Pertama, Tommy adalah trah Cendana. Tidak dapat dimungkiri bahwa Golkar lahir (saat itu bernama Sekber Golkar) dan dibesarkan oleh Soeharto yang notabene ayahnya Tommy. Banyak tokoh politik negeri ini yang menjadi besar melalui partai ini. Oleh karena itu, Golkar hingga sampai saat ini tidak akan bisa melupakan jasa Soeharto meskipun dalam beberapa tahun terakhir ini anak-anak Soeharto tidak aktif di Golkar. Dengan kenyataan ini tentu peluang Tommy cukup besar.Namun demikian, sejak masa reformasi keluarga Cendana mendapat stigma yang buruk dari masyarakat sebagai penumbuhsubur KKN, penindas rakyat dan sebagainya sehingga apapun yang terkait dengan keluarga ini kerap dianggap buruk oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu, jika Golkar dipimpin Tommy, bukan tidak mungkin partai beringin ini akan semakin terpuruk. Golkar Baru yang diintrodusir Golkar di bawah kepengurusan Akbar Tanjung –pada masa Jusuf Kalla (JK), hampir tidak pernah lagi didengungkan- akan semakin tenggelam.Kedua, modal finansial Tommy, meskipun belum pernah diungkap ke publik sehingga tidak diketahui menjadi orang terkaya keberapa di negeri ini, tetapi diduga tidak jauh berbeda dengan Ical. Dengan kemampuan dana yang melimpah ditambah kultur politik partai yang sulit lepas dari politik uang (money politic) tidaklah sulit bagi Tommy untuk terus melenggang ke bursa persaingan. Namun, realitas ini pada saat yang sama juga akan kian menahbiskan bahwa partai beringin ini masih kental dengan aroma uang dan pragmatisme politik. Hal ini tentu akan mendapatkan sentimen negatif dari rakyat.Ketiga, dari aspek citra, Tommy sangat terbantu dengan wajahnya yang ganteng. Tidak dapat dimungkiri bahwa khalayak Indonesia, terutama kalangan perempuan, kadang terpengaruh oleh penampilan fisik seorang tokoh. Dalam konteks ini, kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cukup terbantu oleh penampilannya yang juga cukup genteng. Hanya saja citra Tommy ternoda oleh berbagai kasus yang pernah melilitnya, bahkan ia pernah divonis penjara 15 tahun dalam kasus pembunuhan seorang hakim. Selaian itu, Tommy juga kurang ditunjang oleh rekam jejak sebagai politisi yang berhasil. Pengalaman politiknya hanyalah sebatas menjadi anggota Fraksi Karya Pembangunan di MPR.Namun demikian, semua terpulang kepada orang-orang Golkar sendiri karena merekalah yang akan memilih. Apakah mereka akan memilih ketua umumnya hanya berdasarkan kepada pertimbangan jangka pendek semata atau didasarkan pada pandangan jauh ke depan, yakni mereformasi partai ini sehingga bermetamorforsis menjadi partai yang benar-benar mengayomi rakyat banyak, bukan segelintir elitenya. Kita akan lihat pada saat Munas nanti.

DILEMA PARTAI GOLKAR


Oleh Iding R Hasan


(Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute)


Tulisan ini pernah dimuat di Pikiran Rakyat, 18 Agustus 2009


Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) V Partai Golkar di Kantor DPP PG, Slipi, Jakarta Barat, pada Kamis malam kemarin akhirnya memutuskan bahwa Musyawarah Nasional VIII akan diselenggarakan di Pekanbaru, Riau pada 4 – 7 Oktober. Sedangkan Makassar yang bersaing untuk menjadi tuang rumah disepakati sebagai lokasi cadangan. Semua pihak pada akhirnya menyepakati keputusan tersebut, termasuk Aburizal Bakrie yang tadinya ngotot supaya jadwal Munas dipercepat pada akhir bulan September atau awal Oktober 2009.Meskipun dalam acara Rapimnas tersebut tidak dibicarakan masalah-masalah yang akan dibahas pada Munas, tetapi terlihat dari berbagai pernyataan para elite Partai Golkar bahwa partai ini ingin melakukan konsolidasi diri, terutama akibat kekalahannya baik pada Pemilihan Legislatif (Pileg) April 2009 maupun Pemilihan Presiden (Pilpres) Juli 2009. Dalam konteks ini, semua kandidat ketua umum, yakni Aburizal Bakrie (Ical), Surya Paloh, Ferry Mursyidan Baldan dan Yuddy Chrisnandi bersepakat tentang perlunya Golkar berkonsolidasi.


Menguatnya Pragmatisme

Pasca kekalahan Golkar baik dalam pileg maupun pilpres ada dua isu utama yang berhembus pada tubuh partai beringin tersebut. Pertama, adalah isu apakah Munas dipercepat menjadi Musyawarah Luar Biasa (Munaslub) dari jadwal semula yaitu bulan Desember. Kedua, isu apakah partai ini akan tetap berada dalam pemerintahan atau keluar menjadi partai oposisi.Dengan disepakatinya waktu penyelenggaraan Munas pada bulan Oktober mendatang, berarti isu utama sekarang adalah apakah Golkar akan memutuskan tetap di pemerintahan atau menjadi oposisi. Kubu yang menghendaki opsi pertama direpresentasikan oleh para elite Golkar yang kini memegang jabatan baik pada eksekutif maupun legislatif, seperti Aburizal Bakrie (Ical), Andi Matalata, Agung Laksono, sedangkan kubu yang memilih opsi kedua direpresentasikan mereka yang berada di luar pemerintahan seperti Sultan Hamengkubuwono X, Syamsul Muarif dan kalangan muda dengan tokoh utamanya Yuddy Chrisnandi.Dari perkembangan situasi yang terjadi pada rapimnas kemarin tampaknya opsi yang pertama sangat dominan. Kubu yang menjadikan Ical sebagai kandidat Ketua Umum Partai Golkar mendapatkan lebih banyak dukungan dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I. Kubu yang dikenal dengan Triple A tersebut, yakni Aburizal Bakrie, Akbar Tanjung dan Agung Laksono, diyakini bakal memilih merapat kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Permintaan kubu ini agar Munas dipercepat tidak lain agar mereka dapat “mempersiapkan” para kadernya menjelang pembentukan kabinet baru SBY-Boediono.Apa yang berlangsung pada tubuh Partai Golkar di atas mengindikasikan sejumlah hal. Pertama, pragmatisme politik masih begitu dominan di mana kepentingan politik praktis, yakni mendapatkan kue kekuasaan, seolah menjadi ruh perjuangan politik mereka. Hal ini kian memperkuat sinyalemen bahwa Golkar tidak akan pernah bisa hidup tanpa pemerintah.Kedua, kekuatan uang adalah segala-galanya bagi para elite Golkar. Artinya, orang-orang yang berhak memimpin Golkar adalah mereka yang berkantong tebal. Sedangkah yang hanya mengandalkan idealisme dengan sendirinya akan tersingkir dari arena. Dalam konteks inilah, peluang Ical untuk menjadi ketua umum partai ini paling besar dibandingkan dengan kandidat-kandidat lainnya.


Dilema

Menurut hemat penulis, menguatnya opsi untuk tetap berada dalam pemerintahan bagi Golkar membawa dilema tersendiri yang dalam derajat tertentu justeru minimbulkan citra buruk partai ini. Pertama, meskipun kalau Golkar tetap berada dalam pemerintahan akan mendapatkan keuntungan politik, tetapi sejatinya kerugian politiknya akan lebih besar. Citra bahwa partai ini bergantung sepenuhnya pada pemerintah akan terus melekat di benak masyarakat.Kedua, dengan opsi tersebut Golkar seakan tidak perna mau belajar dari kesalahan. Perilaku elite partai ini yang tetap memperlihatkan kecenderungan Orde Baru, tentu akan menjadi catatan buruk di mata rakyat. Seharusnya Golkar melakukan perbaikan diri antara lain dengan memilih para pemimpinnya yang masih memiliki idealisme politik untuk menyongsong Pemilu 2014.Sayangnya wacana tersebut telah tergerus oleh arus besar pragmatisme politik. Jika demikian, bukan tidak mungkinbahwa Golkar sedang menggali lubang kuburnya sendiri akan menjadi kenyataan.

KALAHMATIKA


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Direktur Eksekutif the Political Literacy Institute)


Tulisan ini pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 14 Juli 2009


Sebelum Pemilu Legislatif 2009 digelar, sempat muncul pelabelan dari pengamat yang menunjukkan kepiawaian Jusuf Kalla dalam mengalkulasi hitungan politik. Frase kunci adalah Kallamatika, sebagai bentuk matematika politik ala Kalla. Kallamatika dimaknai Eep Saepulloh Fatah, sebagai rumus sederhana yang memadukan penciuman politik tajam, kalkulasi pragmatis, dan kehendak kuat untuk menang. Fakta kekiniannya, Kalla harus menerima kekalahan telak dalam kompetisi. Berada di nomor buncit, dengan perkiraan suara kurang lebih 12 persen versi quick count. Tak hanya Kalla, tetapi juga Wiranto, Megawati dan Prabowo sudah saatnya merumuskan “kalahmatika” atau matematika politik oran-orang kalah, jika tak mau kekalahan itu menjadi penanda tamatnya kiprah politik mereka.

Residu Kekalahan
Kalah dalam pemilihan Pilpres, tentu menyisakan residu. Terlebih, di sebuah sistem demokrasi yang sedang tumbuh, dimana kekalahan belum dianggap sebagai kewajaran. Elit politik kita masih banyak yang belum mampu memaknai kekalahan sebagai cara lain membangun kehormatan. Sebaliknya, justru memaknai kekalahan sebagai gerbang menjadi pecundang atau pesakitan. Ada dua residu ikutan yang mungkin muncul dari sebuah kekalahan.Pertama, kekalahan sangat mungkin mengubah partai dari mesin pemenangan menjadi killing field bagi karir politik kandidat. Di sini berlaku rumusan “tak ada kawan dan lawan yang abadi yang ada hanyalah kepentingan”. Sehingga, penghianatan dan penghakiman menjadi lumrah. Dalam konteks residu ini, JK yang paling rentan menerimanya. Beredar rumor kuat, bahwa Munas Golkar yang seharusnya dilaksanakan Bulan Desember, akan dipercepat melalui Munaslub. Tak terelekan, gerakan mendongkel JK sebagi Ketua Umum pun akan menemukan momentumnya. Alasan melengserkan JK, tentu akan mengarah pada melesetnya kalkulasi Kallamatika bahwa Golkar akan menang 30 persen dalam Pemilu Legislatif sementara hasil yang dicapai hanya 14,45 persen. Disusul kekalahan telak Pilpres. Kallamatika mengalkulasi dengan percaya diri, Pilpres akan berlangsung paling tidak dua putaran. Bahkan, selama musim akhir kampanye, Kalla optimis kemenangan satu putaran pun bukan semata bisa dicapai SBY tetapi juga olehnya. Lagi-lagi, Kallamatika tak bisa menunjukkan validitasnya dengan hanya perolehan suara di nomor buntut. Gejolak politik diprediksi akan menguat di tubuh Golkar, terlebih di tengah kegamangan langkah ke depan. Faksi-faksi yang sudah terbentuk pasca marginalisasi kubu Akbar Tanjung, akan kembali vis-a-vis secara terang-terangan. Kondisi lebih beruntung tentu dimiliki Megawati, meski pun kalah, belum ada fragmentasi kekuatan di luar Mega yang setara atau melebihi popularitas Mega. Arus utama dalam tubuh PDIP, masih menjadikan Mega sebagai magnet sekaligus titik episentrum seluruh tindakan politik partai tersebut. Begitu pun Probowo dan Wiranto, dampak residu ini tak akan terlampau berpengaruh bagi keberadaan mereka di partai masing-masing. Prabowo memiliki simbol historis bagi eksistensi Gerindra, sekaligus menjadi jantung kekuatan sumberdaya politik dan sumberdaya finansial bagi partai tersebut. Meski kalah di Pemilu 2009, diprediksi Prabowo masih akan menjadi penguat branding sekaligus “jualan” utama Gerindra di Pemilu 2014. Sementara Wiranto, karena faktor usia dan kekalahan yang beruntun di Pemilu 2004 dan 2009, pilihan terbaiknya tentu bersikap realistis dengan tidak lagi menjadi kandidat capres maupun cawapres. Meskipun, akan tetap memiliki andil kuat di balik keputusan-keputusan politik Partai Hanura di masa mendatang dalam mengendalikan artikulasi maupun agregasi politik partainya. Kedua, residu dari kekalahan adalah hilangnya respek atas pemenang. Delegitimasi Pemilu menjadi penanda mononjol dari residu jenis ini. Nampak jelas, kubu Mega-Prabowolah yang paling merasakan residu kekalahan ini. Dengan tegas, kubu Mega-Prabowo membentuk Posko Pengaduan Pemilu yang dikomandani oleh Thoe Syafii dan Fadli Zon dan menyatakan ada pelanggaran fundamental yang mengancam tidak sahnya Pemilu. Mulai dari urusan DPT, mekanisme pencontrengan hingga klaim intervensi asing melaui IFES sehingga hasil Pemilu layak ditolak. Meski hal itu sangat wajar dilakukan dalam sebuah negara demokrasi, namun sinyal kuat yang terbaca publik juga menunjukkan potensi ketidaksiapan kubu Mega-Prabowo untuk menerima kekalahan dan respek pada pemenang terutama nanti saat KPU mengumumkannya secar resmi.

Formula Kalkulasi
Nampaknya akan ada dua formula pilihan dalam kalkulasi kalahmatika. Pertama, menghitung peta kekuataan di DPR dengan mengonsolidasikan kekuatan yang kalah menjadi kekuatan oposisi yang signifikan. Ini merupakan pilihan elegan, dimana demokrasi kita akan memiliki kekuatan penyimbang yang relatif kuat. Hanya ada 9 partai politik peserta Pemilu legislatif 2009 yang lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 2,5% dari suara sah nasional. SBY sudah pasti didukung penuh oleh gabungan Demokrat, PKS, PPP dan PKB. Dengan demikian, modal dukungan anggota DPR kurang lebih 272 kursi. Sementara jika Golkar, PDIP, Gerindra dan Hanura mengonsolidasikan diri menjadi oposisi, maka oposisi akan memiliki kekuatan sebanyak 246 kursi. Kursi PAN yang berjumlah 42 menjadi penentu, masih mungkin diperebutkan oleh kubu oposisi maupun kubu SBY. Jika ini terjadi, maka proses konsolidasi demokrasi kita akan berjalan kian baik. Kekuatan oposisi yang kuat, diperlukan sebagai instrumen check and balance. Bagi mereka yang kalah dalam Pilpres, pilihan menjadi kekuatan oposisi tentu akan menjadi cara terhormat dan bermartabat. Kedua, formula rasional bertujuan. Artinya, pilihan pragmatis dan oportunis menjadi landasan kalkulasi. Caranya, adalah membuka zona of possible agreement untuk berkolaborasi dengan pemenang. Tujuannya sudah jelas, yakni kue kekuasaan meski harus mengorbankan harga diri dan masa depan partai. Jika itu pilihannya, maka kekalahan kian mengukuhkan identitas sang pecundang.

PUBLISITAS TEROR


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute)


Tulisan ini pernah dimuat di Koran Jakarta, 24 Juli 2009


Peristiwa bom di Hotel Ritz Carlton dan Hotel JW Marriott (17/07), tak hanya mengguncang Jakarta tetapi juga Indonesia. Dampak peristiwa tersebut, sudah pasti menjadi penanda negatif proses pencitraan Indonesia di mata dunia. Berbagai upaya meyakinkan pihak internasional, bahwa Indonesia merupakan negara yang aman dari ancaman kembali mendapatkan ujian. Memori publik diingatkan, pada pemboman sebagai pesan teror serupa di waktu lalu. Misalnya, bom di kediaman Duta Besar Filipina (2000), Gedung BEJ (2000), bom Bali I (2002), Bandara Soekarno-Hatta (2003), Hotel JW Marriott (2003), Kedutaan Australia (2004), bom Bali II (2005) dan sejumlah peristiwa bom di tempat lainnya. Selain menyangkut tindak kejahatan kemanusiaan yang luar biasa, peristiwa bom ini, juga harus dipahami dalam konteks pesan yang didesain pelakunya. Sehingga, kita tak masuk ke dalam jebakan publisitas teror yang sejak awal memang diinginkan para pelaku tak bermoral di balik peristiwa tersebut.
Extraordinary
Setiap aksi teror sudah pasti diarahkan pada upaya menebar ketakutan luar biasa. Semakin massif ketakutan, maka semakin sukses desain teror dijalankan si pelaku. Aksi para teroris bukan semata kejahatan sesaat, tetapi biasanya sistematis, terorganisir dan diorientasikan pada efek domino pasca kejahatan itu dilakukan. Oleh karennya, teror merupakan pesan yang dikonstruksi. Biasanya melalui pengemasan “teater” kematian yang dibuat sangat sadis, dramatis, chaos dan dapat menyebabkan situasi traumatik.Bagi para pelaku, bukan hanya sekedar meledaknya bom dan jatuhnya banyak korban melainkan lebih dari itu yakni publisitas teror melalui media massa dan perbincangan publik. Sehingga hal tersebut memunculkan ketakutan, kesedihan, lumpuhnya kepercayaan internasional dan situasi yang serba tidak menentu. Aksi teror biasanya mengacu pada aktualisasi kebencian, frustasi, disorientasi sosial, atau mungkin juga cara pandang yang keliru mengenai implementasi ideologi tertentu. Dalam praktiknya, dia membutuhkan sebuah “panggung pertunjukkan” untuk memalingkan perhatian publik pada tindakannya itu. Panggung yang memungkinkan tindakannya menjadi extra ordinary news (kejadian sangat luar biasa). Dengan demikian, teroris selalu menjadikan praktik terornya sebagai praktik tie-in publicity yakni menciptakan popularitas melalui kejadian sangat luar biasa. Mereka sangat sadar, bahwa setiap kejadian luar biasa dengan sendirinya akan diliput media massa. Aspek dramatis dan berdarah-darah yang ditampilkan oleh media itulah, yang menjadi publisitas teror sekaligus menebar horor, tak hanya di dalam negeri melainkan juga di dunia internasional.Liputan media massa tentunya tak terhindarkan dari setiap aksi teror bom. Setiap detil dari tempat kejadian, menjadi menu utama pemberitaan. Tentu, hal ini tak bisa disalahkan, karena memang sudah menjadi tugas media memberitakan sesuatu yang terjadi di masyarakat terlebih menyangkut peristiwa extra ordinary seperti peristiwa pemboman. Namun demikian, seyogianya media massa juga proporsional dalam pemberitaan dan tidak terjebak oleh keinginan pelaku teror dengan mendramatisasi ketakutan, menimbulkan trauma berlebihan bagi korban dan keluarga korban serta tidak menghembus-hembuskan asumsi-asumsi liar tanpa bukti memadai.Dalam kasus bom di Ritz Carlton dan JW Marriott, pelaku sangat memperhitungkan dampak publisitas yang high explosive dari kejadian itu. Hal ini paling tidak ditunjang oleh tiga faktor. Pertama, konteks tempat yakni kedua hotel yang dijadikan sentral ledakan. Setiap aksi teror selalu membutuhkan “panggung pertunjukkan” yang memungkinkan luasnya jangkauan pengaruh. Kita bisa identifikasi, ledakan demi ledakan selalu terjadi di obyek-obyek vital seperti bandara, kedutaan negara asing, pusat bisnis, pusat perbelanjaan, hotel dll.Ritz Carlton dan JW Marriott merupakan dua hotel internasional dan diidentifikasi milik asing. Dengan meledakkan kedua tempat tersebut, sudah tentu pelaku berharap menjadikan peristiwa ini sebagai isu internasional. Mungkin saja ada kelompok organik dari gerakan terorisme yang menandai tindakan terornya melalui penghancuran simbol barat lebih khususnya Amerika. Namun, kemunginan pihak lain pun masih bisa saja terjadi. Yakni, mereka yang mengelabui perhatian publik, dengan meminjam modus lama gerakan terorisme berbasis ideologi, padahal para kreatornya tak lebih dari hanya sekedar para machievelist yang menginginkan ketidakteraturan sosial guna pencapaian tujuan strategis dan politis yang bersifat jangka pendek.Kedua, konteks momentum kedatangan para pesohor Manchaster United (MU) ke Indonesia. Pasukan MU adalah magnitud pemberitaan, wajar jika kemana pun mereka bergerak, maka sudah otomatis akan mendapatkan peliputan media. Begitu pun rencana kedatangan mereka ke Indonesia. Jauh hari sebelum tanggal pertandingan digelar, MU telah menimbulkan kegaduhan di rung media massa. Si pelaku melihat jeli situasi ini, kedatangan MU tak hanya membawa serombongan pasukan pemain bola tetapi juga embedded international journalist yang akan meliput dan mempublikasikan lawatan tersebut. Sungguh pemilihan momentum yang direncanakan dan terstruktur.Ketiga, konteks waktu pasca Pilpres yang segera memasuki fase krusial yakni penetapan pemenang Pemilu. Bisa jadi, tak ada hubungannya antara peristiwa bom dengan peristiwa Pemilu. Namun demikian, suasana kompetisi yang belum usai, menyebabkan hiruk-pikuk berita selalu berkisar diantara para capres dan cawapres. Upaya menarik kasus bom ke ranah politik, membuat suasana kian tak kondusif dan menyebabkan sikap saling tak percaya diantara para elit. Justru kondisi seperti inilah yang diinginkan oleh para pelaku teror.Kontroversi SBYPresiden SBY merupakan sosok yang biasanya sangat pandai menjaga citra di muka publik. Berbagai pernyataanya selalu dia kemas dengan hati-hati, sistematis, dan menghindari keagresifan verbal. Namun, kebiasaan itu tak tercermin dalam pernyataannya saat menanggapi kasus bom Ritz Carlton dan JW Marriott. SBY disadari atau tidak membuat kontroversi dalam dua hal.Pertama, terjadi tumpangtindih peran pada saat membuat pernyataan. Lagi-lagi komunikasi tak melulu persoalan isi, melainkan juga konteks. Saat SBY berbicara di halaman Istana, seharusnya dia berbicara dalam kapasitas dirinya sebagai Presiden yang mestinya menyatukan seluruh elemen bangsa dalam menghadapi common enemy yakni terorisme. Bukan sebagai calon presiden yang mengkhawatirkan adanya pihak lain yang akan menggagalkan kemenangannya di Pilpres melalui pendudukan KPU, Iranisasi atau tindakan berbahaya lainnya. Jika SBY berbicara di Istana, jelas pernyataannya harus menunjukkan respek di atas semua golongan, bahkan lawan politik sekali pun. Tidak pada tempatnya dia menyudutkan pihak lain melalui pernyataan yang mengundang beribu tanya.Kedua, jika pun isi pernyataan SBY merupakan hasil analisa data intelejen yang valid, satu hal mungkin telah dilupakan bahwa situasi teror justru menghendaki kepanikan yang menjadi-jadi. Data intelejen yang diakui baru pertamakali dibuka di muka umum, bahwa ada gerakan yang ingin menjadikan SBY sebagai target kekerasan dan adanya gerakan sekelompok orang yang tidak menghendaki dirinya dilantik kembali menjadi presiden, justru menebar ketakutan lain. Tidak relevan SBY membuka temuan dan hasil analisa intelejen itu, bersamaan waktunya dengan pernyataan keras mengutuk pelaku pemboman. Kita tentu saja tidak berharap, pernyataan SBY ini terjebak dalam desain para peneror yakni situasi saling curiga yang menstimulasi kondisi chaos.Pernyataan seorang presiden tentu akan menjadi berita yang dikonsumsi masyarakat. Sangat mungkin sebuah pernyataan yang tidak dimaksudkan menebar teror justru mengonstruksi agitasi. Opini publik dapat berjalan liar, menjadi bola salju yang terus menggelinding dan memperbesar ketakutan. Oleh karena itu perlu kearifan semua pihak terutama para elit politik dan media massa untuk sama-sama mencegah meluasnya publisitas teror. ***

FINAL ROUND?


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute)


Tulisan ini pernah dipublikasikan di SINDO, 7 Juli 2009


Tibalah saatnya Indonesia memilih. Rangkaian proses demokrasi yang cukup panjang dengan segala ornamennya, memasuki fase-fase krusial. Berbagai teknik dan strategi marketing politik guna mengonstruksi citra diri kandidat di mata dan hati pemilih tuntas sudah. Para kandidat capres dan cawapres sudah diberi waktu lebih dari cukup untuk mengemas dan memperlihatkan berbagai kekuatan yang ada pada diri mereka.Nyaris tak ada lelah mereka mengunjungi setiap jengkal bumi pertiwi ini dengan balutan semangat dan motivasi yang sama, yakni melenggang menuju istana sebagai pemenang. Pada 8 Juli,seluruh rakyat yang memiliki hak suara, seyogianya menjadi penentu masa depan Indonesia. Namun, benarkah hari penconterangan akan menjadi ronde terakhir dari kontestasi politik lima tahunan di negeri ini? Atau, justru menjadi awal dari fase turbulensi politik yang mesti diwaspadai.Alihalih menghadirkan demokrasi yang elegan,pemilu malah bisa menjadi awal lumpuhnya esensi demokrasi, jika rakyat sebagai pemegang mandat menjadi tuna kuasa (powerless) atau menjadi kelompok bungkam (muted group).


Konstruksi Kemenangan

Banyak cara menggapai Istana, namun hanya satu pasangan yang akan memperolehnya. Karena itu diperlukan mental kenegarawanan untuk memiliki makna mendalam akan hakikat kemenangan itu sendiri.Selama ini muncul konstruksi makna bahwa kemenangan selalu diidentikkan dengan hasil akhir.Kemenangan mematri prestise, kekuasaan, dan legitimasi. Kerap kali juga diikuti oleh egosentrisme dan rasionalitas pragmatis guna mencapai kegemilangan dari kemenangan itu. Tak ada yang salah dengan hasil akhir kemenangan, terlebih jika didukung oleh kualitas proses yang menjunjung tinggi keluhuran makna kemenangan itu sendiri. Namun, jika kemenangan berdiri di atas fondasi konspirasi hitam, rasisme, politik korporatisme, dan kesepakatan-kesepakatan dengan invisible hand dari kekuatan multinasional yang membahayakan kehormatan negara kita, maka wajar jika kita menyebut kemenangan itu sebagai genta mati demokrasi. Begitu pun bagi pihak yang tak menikmati penahbisan kemenangan atas dirinya,maka sangat mungkin tergoda untuk mengaktualkan energi negatif kekalahannya itu menjadi serentetan aktivitas yang juga membahayakan demokrasi. Prosesi demokrasi ditempatkan dalam hitam putih egosentrisme kemenangan dan pembangkangan atas vonis kekalahan. Kita memiliki catatan historis tentang kemenangan yang dipaksakan seperti terjadi di zaman Orde Baru. Selama 32 tahun Soeharto selalu menjadi pemenang,namun bukan kemenangan yang dilahirkan dari rahim demokrasi, melainkan kemenangan yang dikendalikan secara paksa. Meminjam istilah dari pemikir Louis Althusser, berarti ada “ideological state apparatus” dan "the repressive state apparatus" yang dapat memaksakan kemenangan bagi rezim berkuasa. Aparatus negara yang menjadi alat ideologis atau represif itu dapat mewujud dalam bentuk pemerintah, polisi,tentara,pengadilan, keluarga,agama,bahkan media massa.Termasuk juga dalam konteks pemilu ini adalah para penyelenggara pemilu, dari KPU pusat hingga TPS. Sangat mungkin mereka tergoda untuk tunduk pada desain pihak-pihak tertentu yang menghendaki kemenangan, meskipun harus mencederai prinsip pemilu yang jujur dan adil. Karenanya, wajar jika dalam momentum pemilu ini kita kembali merekonstruksi makna kemenangan. Menurut, Peter L Berger dan Thomas Luckmann (1990),reality is socially constructed. Dengan demikian, dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi di mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.


Pelembagaan dan Legitimasi

Makna kemenangan pemilu bisa dikonstruksikan oleh cara pandang kita. Sangat mungkin, kemenangan berorientasi hasil akhir (goal oriented) dan terlepas dari moralitas, seolah-olah sahih dan menjadi realitas objektif.Kita menyadari bahwa realitas obyektif merupakan suatu kompleks definisi realitas (termasuk cara pandang dan keyakinan) serta rutinitas tindakan yang telah mapan terpola. Secara umum, dihayati oleh individu sebagai fakta.Banyak tim sukses yang memiliki semangat “Apa pun caranya yang penting menang!” Bisa jadi gejala ini kian kronis karena dua hal. Pertama,karena adanya pelembagaan. Artinya ada proses pembiasaan curang dalam pemilu.Mulai dari pendaftaran pemilih tetap (DPT), kampanye hitam berbau SARA atau rasisme,serangan fajar saat hari H pencontrengan, hingga nanti pada saat proses rekapitulasi hasil suara. Tiap tindakan yang sering diulang pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang bisa direproduksi dan dipahami oleh pelakunya sebagai hal yang sahih, lumrah dan apa adanya. Kedua,legitimasi yang berfungsi membuat objektivasi tentang berbagai kecurangan yang sudah dilembagakan tadi,menjadi tersedia secara objektif dan masuk akal secara subjektif.Yang berbahaya adalah, tatkala semua karut marut soal pemilu tadi justru diperkokoh oleh ekspresi simbolik media massa dan elite masyarakat.Alhasil,hal itu menjadi konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu warga negara melalui proses internalisasi mereka.Selama masa kampanye, gejala seperti itu menguat di masyarakat.Misalnya kian intensifnya produk hasil riset bercita rasa pemesan.Perbedaan hasil riset bukan karena perbedaan metodologi, melainkan lebih karena perbedaan siapa sponsor mereka. Ironisnya, banyak konsultan politik bertopeng lembaga survei independen itu justru banyak dimotori oleh intelektual muda yang sesungguhnya memiliki peluang untuk berkiprah dalam keluhuran politik Indonesia masa depan. Begitu pun media,tak lagi mampu menjadi ruang publik seperti dimimpikan oleh pemikir Jerman Jurgen Habermas.Melainkan,kian kukuh sebagai instrumen bisnis yang juga mesti adaptif dengan kecermatan memilih patrondalam politik.Seharusnya media menjadi institusi yang tidak berada dalam represi rezim kapital atau intervensi negara dan kelompok kepentingan tertentu, melainkan menjadi alat kontrol atas proses demokrasi sekaligus penguat proses literasi politik dari pemilih. Dengan kondisi seperti sekarang,wajar jika kemudian media tak mampu berbuat adil dalam memberi ruang bagi semua kandidat, terlebih berbuat adil terhadap pemilih.


Harga Demokrasi

Banyak pihak yang mengampanyekan pilpres satu putaran dengan alasan penghematan anggaran. Sekilas tampak sebuah iktikad yang mulia dan menunjukkan empati akan nilai efektivitas dan efisiensi biaya. Seperti kita ketahui, ongkos satu kali putaran pilpres itu kurang lebih Rp4 triliun. Artinya, jika harus ada putaran ke dua, sudah pasti ada biaya tambahan yang dikeluarkan negara.Namun, substansi penyelenggaraan pemilu adalah kekuasaan rakyat itu sendiri. Jika pun Indonesia memilih salah satu pasangan dan menang dalam satu kali putaran, itu harus diterima sebagai hakikat demokrasi. Begitu juga sebaliknya, semahal apa pun ongkosnya, demi demokrasi yang jujur dan adil, berapa putaran pun pemilu harus tetap dilaksanakan. Ada kekhawatiran kampanye pemilu satu putaran justru bukan melahirkan fatsun politik, melainkan menstimulasi lahirnya aparatus pemenangan gaya machievelist di tiap tingkatan penyelenggara pemilu. Biarkan pemilu berjalan dengan hakikat nilai-nilai demokrasi yang terkandung di dalamnya.Satu, dua,atauberapaputaranpunhanyalah persoalan konsensus untuk melahirkan pemenang yang mengantongi mandat kekuasaan. Hakikat kemenangan tak hanya hasil akhir jabatan RI-1 atau RI-2, melainkan juga proses menuju itu. Menjalankan kompetisi secara sehat serta memberi inspirasi bagi banyak orang. Rivalitas akan berjalan happy ending jika elite politik kita mampu berbagi nilai respek. Satu pasang akan ke istana dan yang lain bersedia membangun kekuatan oposisi yang kuat agar muncul keseimbangan kekuasaan.(*)


Selasa, 06 Januari 2009

ETIKA POLITIK CALON LEGISLATIF


Oleh : Iding R Hasan

(Deputi Direktur Eksekutif The Policy Institute)


Ket : Tulisan ini Telah Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 3 Nopember 2008


SEJATINYA para calon legislatif (caleg) adalah orang-orang yang mampu memberikan teladan politik di hadapan publik. Mereka termasuk di antara sekian gelintir orang dari jutaan anggota masyarakat yang mendapatkan kesempatan sekaligus kehormatan untuk duduk di lembaga yang terhormat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika mereka berhasil memasuki lembaga tersebut, mereka boleh dikatakan sebagai "orang-orang pilihan".Akan tetapi, terkuaknya sejumlah kasus pelanggaran yang melibatkan beberapa caleg memperlihatkan kepada kita semua betapa mereka sesungguhnya belum siap menjadi "orang-orang pilihan" tersebut. Kasus ijazah bermasalah yang melibatkan Sukmawati Soekarnoputri, Agustina Nasution, dan Uki Widyastuti, juga Wulan Guritno (sertifikatnya tidak layak), yang berbuntut pada pencoretan keempatnya dari daftar caleg oleh KPU adalah bukti yang jelas. Deretan ini akan bertambah panjang jika dimasukkan pula kasus pelanggaran lain seperti pendaftaran ganda di dua parpol yang berbeda, caleg yang masih berstatus PNS, dan mereka yang dilaporkan sebagai politisi busuk karena diduga terlibat dalam kasus-kasus hukum.Kasus di atas tentu dapat mengundang sejumlah pertanyaan bagi kita semua, apakah para caleg tersebut benar-benar memahami etika politik sebelum mereka memutuskan terjun ke dunia politik? Ataukah memang tujuan mereka berpolitik sebenarnya hanyalah untuk mencari keuntungan an sich, terutama yang bersifat material, tanpa memedulikan nilai-nilai etis dari politik? Apakah kredo the end justifies the means ala Machiaveli yang kesohor itu telah menjadi spirit dari perilaku politik mereka?


Etika politik


Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia. Politis dalam konteks ini adalah berorientasi pada masyarakat secara keseluruhan. Sebuah tindakan disebut politis apabila menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan. Maka, politisi adalah orang yang mempunyai profesi yang mengenai masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai dimensi di mana manusia menyadari diri sebagai anggota masyarakat sebagai keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindak-tanduknya (Franz Magnis-Suseno: 2001).Inti dari permasalahan etika politik adalah masalah legitimasi etis kekuasaan. Ia berkaitan dengan hak moral seseorang atau sekelompok orang untuk memegang dan mempergunakan kekuasaan yang mereka miliki. Pada sisi lain, betapa pun besar kekuasaan seseorang, ia selalu dapat dihadapkan dengan tuntutan untuk mempertanggungjawabkannya. Maka, ketika pertanggungjawaban itu tidak dapat diberikan, kekuasaan itu tidak lagi dianggap sah.Berkaca dari pernyataan di atas, beberapa pelanggaran yang telah dilakukan sejumlah calon legislatif jelas telah mengandung cacat moral yang akan berujung pada tidak terlegitimasinya mereka dalam kekuasaan politik। Seandainya berhasil memasuki ranah kekuasaan sebagai anggota legislatif, mereka tetap akan dihadapkan dengan tuntutan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut di hadapan publik. Tentu hal itu akan mendelegitimasi kekuasaan mereka. Oleh karena itu, dihapusnya nama mereka dari daftar calon tetap oleh KPU terkait penggunaan ijazah bermasalah sesungguhnya harus dipandang sebagai upaya "penyelamatan" mereka dari kehidupan lebih buruk yang akan menimpa mereka di kemudian hari, yakni aib politik yang boleh jadi akan ditanggungnya sepanjang masa.


Moral vs Hukum


Dalam sejumlah kasus, kita kerap menemukan adanya beberapa caleg yang disebut sebagai politisi busuk oleh masyarakat. Sayangnya, KPU sebagai pihak yang memberikan akses kepada publik untuk memberikan laporan dan pengaduan tentang perilaku caleg hanya bisa menyerahkan wewenang sepenuhnya kepada parpol untuk menilai laik tidaknya caleg tersebut untuk terus maju sebagai caleg. KPU tampaknya hanya bertindak pada tataran administrasi belaka.Ada satu hal yang perlu digarisbawahi di sini bahwa parpol sebagai lembaga yang paling berwenang terhadap nasib politik para calegnya selalu melandaskan pandangan dan sikap politiknya pada keputusan hukum. Para elite parpol senantiasa berdalih bahwa selama belum ada keputusan hukum tetap terhadap caleg yang dilaporkan sebagai yang bermasalah itu, mereka tidak memiliki kewenangan untuk mencoretnya. Sebab, Indonesia adalah negara hukum yang menerapkan asas praduga tak bersalah.Memang keputusan hukum tidak diragukan lagi bersifat mengikat. Namun yang perlu disadari sepenuhnya oleh para elite parpol adalah bahwa moralitas dalam politik sesungguhnya sangat menentukan legitimasi etis para caleg dalam kehidupan politik mereka. Komitmen terhadap hal tersebut merupakan conditio sine qua non jika mereka benar-benar menginginkan kekuasaan yang dipegang dan dipergunakannya itu mendapatkan legitimasi etis. Sebab tanpa legitimasi etis, pertanggungjawaban yang akan diberikan kepada publik menjadi tidak bermakna.Di negara-negara yang tradisi demokrasinya sudah maju, persoalan moralitas dalam politik merupakan hal yang sangat menentukan karier seorang politisi. Mereka yang diduga terlibat pelanggaran moral, apa pun bentuknya, lebih memilih mundur dari arena pertarungan politik meskipun belum ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, pejabat politik yang sedang berkuasa pun akan melakukan hal yang sama jika terlibat kasus pelanggaran moral. Hal itu karena mereka menyadari sepenuhnya bahwa pelanggaran moral merupakan aib politik yang akan mendegradasi legitimasi etis mereka pada level yang sangat rendah. Mengapa kesadaran seperti itu tidak terdapat pada diri para caleg kita khususnya dan politisi pada umumnya di negeri yang berdasarkan Pancasila ini?